Pengertian Gerhana
Gerhana bulan terjadi saat sebagian atau keseluruhan
penampang bulan tertutup oleh bayangan bumi. Itu terjadi bila bumi berada di antara matahari dan bulan pada satu garis lurus yang sama,
sehingga sinar Matahari tidak dapat mencapai bulan karena terhalangi oleh bumi
Gerhana bulan dapat diamati dengan mata telanjang dan tidak berbahaya sama sekali.
Gerhana Matahari terjadi ketika posisi bulan terletak di antara bumi dan matahari sehingga menutup sebagian atau seluruh
cahaya Matahari. Walaupun Bulan lebih kecil, bayangan Bulan mampu melindungi
cahaya Matahari sepenuhnya karena Bulan yang berjarak rata-rata jarak 384.400
kilometer dari Bumi lebih dekat dibandingkan Matahari yang mempunyai jarak
rata-rata 149.680.000 kilometer.
Melihat secara langsung ke
fotosfer matahari (bagian cincin terang dari Matahari)
walaupun hanya dalam beberapa detik dapat mengakibatkan kerusakan permanen retina mata karena radiasi tinggi yang tak terlihat yang
dipancarkan dari fotosofer. Kerusakan yang ditimbulkan dapat
mengakibatkan kebutaan. Mengamati gerhana Matahari membutuhkan pelindung mata
khusus atau dengan menggunakan metode melihat secara tidak langsung. Kaca mata sunglasses
tidak aman untuk digunakan karena tidak menyaring radiasi inframerah yang dapat merusak retina mata. Karena
cepatnya peredaran Bumi mengitari matahari, gerhana matahari tak mungkin
berlangsung lebih dari 7 menit dan 58 detik jadi jika ingin melihatnya lakukan
sesegera mungkin.
TATACARA SHOLAR GERHANA
Sholat Gerhana
Jumhur ulama’ berpendapat, shalat gerhana
hukumnya sunnah muakkadah. Abu ‘Awanah Rahimahullah menegaskan
wajibnya shalat gerhana matahari. Demikian pula riwayat dari Abu Hanifah Rahimahullah,
beliau memiliki pendapat yang sama. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa beliau
menempatkannya seperti shalat Jum’at. Demikian pula Ibnu Qudamah Rahimahullah
berpendapat, bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. [Al- Mughni, Ibnu Qudamah, 3/330]
Adapun yang lebih kuat, ialah pendapat yang
mengatakan wajib, berdasarkan perintah yang datang dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam. Imam asy-Syaukani juga menguatkan pendapat ini. Demikian
pula Shiddiq Hasan Khân Rahimahullah dan Syaikh al-Albâni Rahimahullah.
[Fathul-Bâri (2/612), Tamamul-Minnah (261), ar-Raudhah
an-Nadiyah (156)] Dan Syaikh Muhammad bin Shâlih
‘Utsaimin Rahimahullah berkata: “Sebagian ulama berpendapat, shalat
gerhana wajib hukumnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
فَإِذَا
رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
”Jika kalian melihat gerhana tersebut (matahari atau
bulan) , maka bersegeralah untuk melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari no.
1047)
Karena dari hadits-hadits yang menceritakan mengenai shalat gerhana mengandung kata perintah (jika kalian melihat gerhana tersebut, shalatlah: kalimat ini mengandung perintah). Padahal menurut kaedah ushul fiqih, hukum asal perintah adalah wajib. Pendapat yang menyatakan wajib inilah yang dipilih oleh Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khoon, dan Syaikh Al Albani rahimahumullah.
Karena dari hadits-hadits yang menceritakan mengenai shalat gerhana mengandung kata perintah (jika kalian melihat gerhana tersebut, shalatlah: kalimat ini mengandung perintah). Padahal menurut kaedah ushul fiqih, hukum asal perintah adalah wajib. Pendapat yang menyatakan wajib inilah yang dipilih oleh Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khoon, dan Syaikh Al Albani rahimahumullah.
Catatan: Jika di
suatu daerah tidak nampak gerhana, maka tidak ada keharusan melaksanakan shalat
gerhana. Karena shalat gerhana ini diharuskan bagi siapa saja yang melihatnya
sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
TATACARA SHOLAR GERHANA
TATACARA SHOLAR GERHANA
Waktu
Pelaksanaan Shalat Gerhana
Waktu pelaksanaan shalat gerhana adalah mulai ketika
gerhana muncul sampai gerhana tersebut hilang.
Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ
الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ
أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا
حَتَّى يَنْجَلِىَ
”Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara
tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena
kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada
Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).” (HR.
Bukhari no. 1060 dan Muslim no. 904)
Shalat gerhana juga boleh dilakukan pada waktu terlarang untuk shalat. Jadi, jika gerhana muncul setelah Ashar, padahal waktu tersebut adalah waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tetap boleh dilaksanakan. Dalilnya adalah:
Shalat gerhana juga boleh dilakukan pada waktu terlarang untuk shalat. Jadi, jika gerhana muncul setelah Ashar, padahal waktu tersebut adalah waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tetap boleh dilaksanakan. Dalilnya adalah:
فَإِذَا
رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
”Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan,
bersegeralah menunaikan shalat.” (HR. Bukhari no. 1047) Dalam hadits ini
tidak dibatasi waktunya. Kapan saja melihat gerhana termasuk waktu terlarang
untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.
Hal-hal yang Dianjurkan Ketika Terjadi Gerhana
Pertama: perbanyaklah
dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ
أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ
وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di
antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian
seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah
kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR.
Bukhari no. 1050)
Kedua: keluar mengerjakan shalat gerhana secara
berjama’ah di masjid.
Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini sebagaimana
dalam hadits dari ’Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
mengendari kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam melewati kamar istrinya (yang dekat dengan
masjid), lalu beliau berdiri dan menunaikan shalat.6 Dalam riwayat
lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendatangi tempat
shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di situ.7
Ibnu Hajar mengatakan, ”Yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu shalat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah melihat berakhirnya gerhana.”( Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/343)
TATACARA SHOLAR GERHANA
Ibnu Hajar mengatakan, ”Yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu shalat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah melihat berakhirnya gerhana.”( Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/343)
TATACARA SHOLAR GERHANA
Lalu apakah mengerjakan dengan jama’ah merupakan syarat
shalat gerhana? Perhatikan penjelasan menarik berikut.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan,
”Shalat gerhana secara jama’ah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah,
dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah. Dalil dari hal ini adalah
sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,
فَإِذَا
رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا
”Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah”.(
HR. Bukhari no. 1043)
Dalam hadits ini, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam
tidak mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh
karena itu, hal ini menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk
dikerjakan walaupun seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun, tidak
diragukan lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja
lebih utama (afdhol). Bahkan lebih utama jika shalat tersebut dilaksanakan di
masjid karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengerjakan shalat tersebut di
masjid dan mengajak para sahabat untuk melaksanakannya di masjid. Ingatlah,
dengan banyaknya jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an. Dan banyaknya jama’ah
juga adalah sebab terijabahnya (terkabulnya) do’a.”( Syarhul
Mumthi’, 2/430)
Ketiga: wanita juga
boleh shalat gerhana bersama kaum pria
Dari Asma` binti Abi Bakr, beliau berkata,
أَتَيْتُ
عَائِشَةَ – رضى الله عنها – زَوْجَ النَّبِىِّ –
صلى الله عليه وسلم – حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا
النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا
لِلنَّاسِ فَأَشَارَتْ بِيَدِهَا إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ . فَقُلْتُ آيَةٌ
فَأَشَارَتْ أَىْ نَعَمْ
“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha -isteri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu
manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk melakukan
sholat, saya bertanya: “Kenapa orang-orang ini?” Aisyah mengisyaratkan tangannya
ke langit seraya berkata, “Subhanallah (Maha Suci Allah)”. Saya bertanya:
“Tanda (gerhana)?” Aisyah lalu memberikan isyarat untuk mengatakan iya.”(
HR. Bukhari no. 1053)
Bukhari membawakan hadits ini pada bab:
صَلاَةِ
النِّسَاءِ مَعَ الرِّجَالِ فِى الْكُسُوفِ
”Shalat wanita bersama kaum pria ketika terjadi gerhana
matahari.”
Ibnu Hajar mengatakan,
Ibnu Hajar mengatakan,
أَشَارَ
بِهَذِهِ التَّرْجَمَة إِلَى رَدّ قَوْل مَنْ مَنَعَ ذَلِكَ وَقَالَ : يُصَلِّينَ
فُرَادَى
”Judul bab ini adalah sebagai sanggahan untuk orang-orang
yang melarang wanita tidak boleh shalat gerhana bersama kaum pria, mereka hanya
diperbolehkan shalat sendiri.”( Fathul Bari, 4/6)
Kesimpulannya, wanita boleh ikut serta melakukan shalat
gerhana bersama kaum pria di masjid. Namun, jika ditakutkan keluarnya wanita
tersebut akan membawa fitnah (menggoda kaum pria), maka sebaiknya mereka shalat
sendiri di rumah.( Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/345)
Keempat: menyeru
jama’ah dengan panggilan ’ash sholatu jaami’ah’ dan tidak ada adzan maupun
iqomah.
Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan,
Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan,
أنَّ الشَّمس
خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَبَعَثَ مُنَادياً
يُنَادِي: الصلاَةَ جَامِعَة، فَاجتَمَعُوا. وَتَقَدَّمَ فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ
رَكَعَاتٍ في ركعَتَين وَأربعَ سَجَدَاتٍ.
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu
mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari
kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju
dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua
raka’at.”( HR. Muslim no. 901) Dalam hadits ini tidak diperintahkan
untuk mengumandangkan adzan dan iqomah. Jadi, adzan dan iqomah tidak ada dalam
shalat gerhana.
Kelima: berkhutbah
setelah shalat gerhana
Disunnahkah setelah shalat gerhana untuk berkhutbah,
sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat (Lihat
Shohih Fiqh Sunnah, 1/435). Hal ini berdasarkan hadits:
عَنْ عَائِشةَ
رَضي الله عَنْهَا قَالَتْ:
خَسَفَتِ الشمسُ عَلَى عَهدِ رَسُول الله صلى الله عليه
وسلم. فَقَامَ فَصَلَّى رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم بالنَّاس فَأطَالَ
القِيَام، ثُمَّ رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكُوعَ، ثُمَّ قَامَ فَأطَالَ القيَامَ وَهو
دُونَ القِيَام الأوَّلِ، ثم رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكوعَ وهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ
الأوَّلِ، ثُم سَجَدَ فَأطَالَ السُّجُودَ، ثم فَعَلَ في الركعَةِ الأخْرَى مِثْل
مَا فَعَل في الركْعَةِ الأولى، ثُمَّ انصرَفَ وَقَدْ انجَلتِ الشَّمْسُ، فَخَطبَ
الناسَ فَحَمِدَ الله وأثنَى عَليهِ ثم قالَ:
” إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ آيَاتِ الله لاَ
تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ.
فَإذَا رَأيتمْ ذلك فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا
وَتَصَدَّ قوا”.
ثم قال: ” يَا
أمةَ مُحمَّد ” : والله مَا مِنْ أحَد أغَْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ من أن
يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ تَزني أمَتُهُ.
يَا أمةَ مُحَمد، وَالله لو تَعْلمُونَ مَا أعلم
لضَحكْتُمْ قَليلاً وَلَبَكَيتم كثِيراً “.
Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari
pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau
memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya.
Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih
singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan
memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya.
Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at
berikutnya, beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau
beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.
TATACARA SHOLAR GERHANA
Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda,
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
Nabi selanjutnya bersabda,
”Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.”( HR. Bukhari, no. 1044)
TATACARA SHOLAR GERHANA
Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda,
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
Nabi selanjutnya bersabda,
”Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.”( HR. Bukhari, no. 1044)
Khutbah yang dilakukan adalah sekali sebagaimana shalat
’ied, bukan dua kali khutbah. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih
oleh Imam Asy Syafi’i.( Lihat Syarhul Mumthi’, 2/433)
Tata Cara Shalat
Gerhana
Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini
berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun, para ulama berselisih mengenai tata
caranya.
Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan
sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada
sekali ruku’, dua kali sujud. Ada juga yang berpendapat bahwa shalat gerhana
dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali
sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat sebagaimana yang dipilih
oleh mayoritas ulama. ( Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435-437)
Hal ini berdasarkan hadits-hadits tegas yang telah kami
sebutkan:
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901)
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901)
“Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi
pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan
berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau
berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari
berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’
tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud
dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau mengerjakannya
seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi),
sedangkan matahari telah nampak. (HR. Bukhari, no. 1044)
Ringkasnya, tata cara
shalat gerhana -sama seperti shalat biasa dan bacaannya pun sama-, urutannya
sebagai berikut.
[1] Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya.
[1] Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya.
[2] Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat
biasa.
[3] Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian
membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al
Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana
terdapat dalam hadits Aisyah:
جَهَرَ
النَّبِىُّ –
صلى الله عليه وسلم – فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya
ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)
[4] Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.
[5] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan
’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’
[6] Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun
dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri
yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.
[7] Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya
lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
[8] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).
[9] Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’,
lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.
[10] Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at
kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya
lebih singkat dari sebelumnya.
[11] Tasyahud.
[12] Salam.
[13] Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para
jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah,
dan membebaskan budak.( Lihat Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr
dan Shohih Fiqih Sunnah, 1/438)
Nasehat Terakhir
Saudaraku, takutlah dengan fenomena alami ini. Sikap yang
tepat ketika fenomena gerhana ini adalah takut, khawatir akan terjadi hari
kiamat. Bukan kebiasaan orang seperti kebiasaan orang sekarang ini yang hanya
ingin menyaksikan peristiwa gerhana dengan membuat album kenangan fenomena
tersebut, tanpa mau mengindahkan tuntunan dan ajakan Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam ketika itu. Siapa tahu peristiwa ini adalah tanda datangnya bencana
atau adzab, atau tanda semakin dekatnya hari kiamat. Lihatlah yang dilakukan
oleh Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِى
مُوسَى قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-
فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى
أَتَى الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ مَا
رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِى
يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ
اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا
شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ
Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan,
”Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Nabi lantas berdiri takut karena khawatir akan terjadi hari kiamat,
sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau mengerjakan shalat dengan
berdiri, ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat beliau melakukan
shalat sedemikian rupa.”
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda,”Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.( HR. Muslim no. 912)
TATACARA SHOLAR GERHANA
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda,”Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.( HR. Muslim no. 912)
TATACARA SHOLAR GERHANA
An Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai maksud kenapa
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam takut, khawatir terjadi hari kiamat. Beliau
rahimahullah menjelaskan dengan beberapa alasan, di antaranya:
Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum tanda-tanda kiamat seperti terbitnya matahari dari barat atau keluarnya Dajjal. Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda kiamat.( Syarh Muslim, 3/322)
Hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir akan tertimpa adzab-Nya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja sangat takut ketika itu, padahal kita semua tahu bersama bahwa beliau shallallahu ’alaihi wa sallam adalah hamba yang paling dicintai Allah. Lalu mengapa kita hanya melewati fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja, mungkin hanya diisi dengan perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia, bahkan mungkin diisi dengan berbuat maksiat. Na’udzu billahi min dzalik.
Demikian penjelasan ringkas kami mengenai shalat
gerhana . Semoga bermanfaat.Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum tanda-tanda kiamat seperti terbitnya matahari dari barat atau keluarnya Dajjal. Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda kiamat.( Syarh Muslim, 3/322)
Hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir akan tertimpa adzab-Nya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja sangat takut ketika itu, padahal kita semua tahu bersama bahwa beliau shallallahu ’alaihi wa sallam adalah hamba yang paling dicintai Allah. Lalu mengapa kita hanya melewati fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja, mungkin hanya diisi dengan perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia, bahkan mungkin diisi dengan berbuat maksiat. Na’udzu billahi min dzalik.
TATACARA SHOLAR GERHANA
0 Response to "GERHANA MATAHARI DAN BULAN"
Post a Comment